Sabtu, 24 November 2018

Kooperatif; Model Klasik, Strategi Terbaik

Mengamati dinamika pendidikan dewasa ini, banyak sekali kemelut. Seperti Kurikulum, bahan ajar, dan dituntut untuk selalu PAIKEM. Yang artinya; proses pembelajaran tertuju pada Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efekif, dan Menyenangkan. Secara integritas pendidik atau pengajar diharapkan tampil sempurna di atas panggung. Tapi jika tidak ada bahan? Tuntutan itulah yang membuat sebagian pendidik dan pengajar menjadi berpikir tingkat tinggi untuk mencapai tujuan PAIKEM. Mulai dari sintaksis yang selalu disisipkan inovasi, media ajar berbasis multimedia, LKS Inovatif, Modul Inovatif, dan tentu model pembelajaran inovatif. Semua di tuntut untuk selalu ada pembaruan, kreatifitas, dan inovasi-inovasi lebih dari sebelumnya.

Kebaruan kadang membuat kita keblinger, artinya pusing sendiri. Sebab hal yang lama saja belum bisa dimaksimalkan, sekarang malah di tuntut sesuatu yang baru. Kadang sesuatu yang baru sulit diterima oleh siswa, itulah yang menjadi tantangan sekaligus peluang untuk mengembangan bahan ajar.

Aku lebih suka cara lama, meskipun sekarang memasuki revolusi industri 4.0 yang digaung-gaungkan ke penjuru negeri. Tapi bagiku hal ini tidak masuk dalam dunia pendidikan. Artinya proses digital memang menjadi keharusan masyarakat modern, tapi keinginan mengisi ruang klasik masih dirindukan. Memang Gawai sudah menjadi kebutuhan setiap siswa, dan guru pun demikian. Akan tetapi langkah untuk memanfaatkan teknologi dalam dunia pendidikan masih buruk, dan bahkan membuat jenuh. Kecuali tumbuh genetika dari anak yang pandai dan pintar sejak dalam kandungan, itu beda cerita. Kalau untuk membentuk pemikiran yang tingkat tinggi dibutuhkan semangat juang dari siswa sendiri.

Memilih model kooperatif adalah jalan terbaik. Dasar yang aku ambil sekarang adalah banyak fenomena individualistik, dan itu aku rasakan sendiri. Kumpul dan berdinamika secara sehat sudah mulai kurang. Artinya mengutarakan pendapat, dan berdiskusi seperti apa kejadian-kejadian terkini, problem sosial, problem ilmiah, dan bahkan di dengar mulai sedikit sekali.  Kecenderungan-kecenderungan inilah membuat psikis anak menjadi tidak sehat. Secara hakikat sifat manusia adalah makhluk sosial dan makhluk individu. Tidak bisa dilepaskan dalam 2 sifat tadi, demikian jika kita masuk dalam pembelajaran.

Berinteraksi dan bertanggungjawab terhadap kelompok merupakan jalan terbaik. Dengan demikian siswa akan disibukan oleh kegiatan berdiskusi. Jalan diskusi menjadi lebih menarik jika diselahi bahan ajar yang menarik. Disinilah penting untuk pemilihan bahan-bahan ajar dari guru. Lalu timbul pertanyaan? Apa guna internet, gawai, dan digitalisasi dalam kehidupan? Bagiku mereka sebagai pelengkap dalam proses pembelajaran, yang terpenting adalah kualitas dari manusia. Seberapa mampu untuk membentuk dan membuat kelas jauh lebih menarik.

Aku memilih bahan ajar kertas (konkrit) yang akan aku cetak dengan penuh warna. Gunanya agar supaya pemikiran mereka lebih menari, dan berimajinasi, berkreasi dengan sendirinya. Mentafsirkan sesuatunya dari gambar, dan inilah yang menjadi lebih menarik. Kalau ditampilkan dalam bentuk visual-proyektor tidak menambah nilai kebermaknaan. Karena kecenderungan bosan dari siswa. Dirumah sudah ada laptop, komputer, televisi, dan gawai yang menjadi makanan sehari-hari. Dan itu mereka lihat dari layar kaca, terkadang membutuhkan pandangan dari kertas. Krisis membaca dalam bentuk hard copy mulai berangsur-angsur ditinggalkan, dan terjajah oleh produk soft copy (e-book). Bahkan dari pikiran ku, e-book hanya sekedar di unduh lalu kemudian diabaikan begitu saja. Disinilah dampak buruknya, bahkan merajai penjuru negeri yang namanya buku digital.

Menetang kebaruan merupakan ketidakmungkinan dan salah, aku tidak anti untuk produk digital. Tapi cara klasik adalah jalan terbaik yang akan aku gunakan, dan aku ujicobakan terhadap siswa. Seberapa tingkat ujicoba ini terhadap keaktifan dan daya tarik siswa dengan pelajaran yang ada.

Dari sinilah aku belajar, bahwa memasuki dunia digital (revolusi industri 4.0) bukan berarti jalan yang kita gunakan selalu berwawasan digital. Boleh jadi hal yang klasik cenderung dirinduhkan, karena tidak selalu model klasik dan bahan ajar klasik membuat jenuh. Kalau digunakan dan dibangkitkan lagi, bisa jadi pembelajaran akan lebih menarik dari biasanya. Belajar secara bersama dalam kelompok akan menjadi lebih aktif. Masih maukah mencoba cara klasik? Kalau aku yes!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar