Sabtu, 01 September 2018

Haruskah Ngiri?

artikelsiana.com
Iri itu rasa. Kalau aku merasakan iri, berarti ada rasa yang ingin aku katakan. Tapi apalah daya, tidak mampu untuk mengatakan. Secara hemat aku katakan iri seperti itu. Dan, akhirnya hanya sebatas menumpuk, dan sesak dalam dada. Itulah mengapa rasa dengan iri menjadi satu kata tak terpisahkan. Ya! Rasa iri. Bisa jadi ketidakberdayaan seseorang atas raihan orang lain, sehingga ada kecemburuan. Ketidakberdayaan yang tidak hanya dalam bentuk materi, bisa dalam wujud lain. Lalu kemudian ada indikator capaian-capaian yang terlewatkan. Yang seharusnya dimiliki pada usia tersebut, akan tetapi harus terlewatkan. Akhirnya ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan itu muncul. Kemudian tersusun menjadi rasa iri.

Nikah itu adalah keberlangsungan keturunan. Kalau kita ketahui secara normatif, nikah itu ikatan atau pertalian perkawinan yang sah secara agama. Ya! Karena manusia itu memiliki akal pikiran. Sehingga ada nilai dan norma yang menjadi dasar untuk mereka berpikir. Timbullah budaya kawin atau menikah tadi. Karena ada sistem kepercayaan dan kemudian tergabung dengan hukum dalam sebuah negara. Itu kalau sekilas kita saksikan definisi secara normatif. Lain lagi jika aku katakan nikah sebagai keberlangsungan keturunan. Karena sejatinya menikah untuk melanjutkan keberlangsungan kehidupan. Pengamatanku tak henti dalam fokus melanjutkan keturunan. Karena seseorang yang menyatu, dan di ikat tali perkawinan akan melangsukan kehidupan  secara biologis melakukan sistem reproduksi, layaknya hewan. Manusia yang telah kawin akan pula melanjutkan norma-norma yang hidup berkembang dalam masyarakat.

Lantas kemudian timbul pertanyaan, haruskah ngiri? Ya! Bagi orang yang sudah cukup matang usianya, perihal nikah akan terus ditanya oleh sanak familinya. Terlebih buat anak gadis, usia dua puluh tahun menjadi jatah untuk dinikahkan. Karena itu tidak lepas dari hal budaya yang tertanam dalam masyarakat. Dan apabila kita ketahui bersama salah satu faktor dari negara maju itu mengatur laju penduduk. Dan kedengaran sempele akan tetapi hal itu penting. Ya! Mengatur laju pertumbuhan penduduk. Menekan laju pertumbuhan di gunakan untuk menekan angka kemiskinan yang begitu pesat. Karena negara pandai dalam mengatur ekonomi, sehingga ada pembatasan bagi setiap warganegara. Dan bagiku itu baik, juga mengingat sekarang penduduk negeri tercinta telah mencapai dua ratus lima puluh juta jiwa. Dan termasuk kedalam katagori terkaya keempat dalam jumlah penduduk. Apakah ini prestasi? Bagiku tidak. Karena negara maju pandai mengelolah laju pertumbuhan penduduk. 

Kalau hal itu telah di mengerti, lantas aku harus ngiri dengan orang yang telah menikah, dan melanjutkan bereproduksi? Aku bisa katakan tidak, kenapa harus iri. Tapi prinsipnya aku akan menikah, iya! lantas kemudian hari ini harus iri, itu tidak penting pula. karena banyak pertimbangan matang di balik sebuah hal yang bernama pernikahan. Mungkin inilah yang menjadi dilema bagi setiap warganegara yang telalu pandai, dan hanyut akan pikiran yang isinya serba keburukan dan rasa takut. Jadi keinginan dan kehendak untuk melakukan kegiatan kawin masih menunggu jauh lebih lama lagi. 

Ngiri itu mungkin bagi wanita yang seumuran denganku. Dan belum juga menikah, karena banyaknya undangan yang menyebar. Belum lagi media sosial yang selalu terhubung dengan koneksi internet. Terang memberikan rasa cemburu bagi seseorang yang telah menikah kepada yang belum menikah. Seolah menikah adalah adu lomba lari cepat. Seolah menikah menjadi keharusan seseorang yang usianya menginjak angka dua puluh lima tahun. Sesuai dengan sunah nabi. Lantas kalau melanggar ada hukum yang mengaturnya? Kalau tidak, apa yang mau kita iri-kan. Aku bersama kalian yang hari ini belum menikah, kita bersama-sama mempertimbangkan hal-hal besar dalam akal untuk tidak lantas buru-buru menikah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar