Pesta rakyat atau pemilihan umum adalah gelaran agenda 5 tahunan. Ya, Negara Indonesia yang kita cinta ini akan melaksankan hajat besar, berupa pemilihan langsung.
Dan tidak hanya pemilihan umum presiden dan wakil presiden, akan tetapi juga ada pemilihan legislatif.
Terkadang, banyak diantara masyarakat kita, rakyat Indonesia yang masih sering bingung dengan penentuan pilihan.
Terutama pada pemilih tua, karena preferensi pendidikan politik yang lemah, dan selain itu dari segi calon yang akan dipilih sedikit kurang dikenal. Terlebih untuk calon legislatif, mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat.
Potensi pemilu terkadang membuat sebagaian dari masyarakat kita mengalami gesekan-gesekan. Tak tak heran pula, terjadi pertikaian hingga ujungnya pada emosioal belaka.
Politik sebenarnya bukan untuk memecah belakan kekeluargaan, masyarakat, bangsa, dan negara. Fenomena ini sering terjadi, karena ketidak dewasaan masyarakat di desa. Terutama yang sedang berbeda pandangan politik.
Padahal, konstitusi negara Indonesia, telah membesakan dan memberikan keleluasaan pada setiap warganegara untuk menentukan jalan hidupnya. Negara dengan sistem politik demokrasi, memberikan kebebasan pada pandangan politik, yakni: memilih dan/atau dipilih.
Tetapi, kenyatakan itu berbalik. Fenomena pemilih konservatif masih banyak di huni oleh orang-orang yang tingkat pendidikannya masih redah. Seolah beda padangan politk adalah penjajah, kolonial, dan berbagai macam emosional lainnya.
Baca: Pemilu Tahun 2019
Jatuh akhirnya, membuat negara kita mudah disusupi oleh kepentingan-kepentingan semata. Padahal, mereka yang sedang berada di tataran elit politik -yang artinya sebagai obyek yang akan dipilih- tenang dan tidak merasa terganggu dengan adanya perbedaan.
Inilah yang menjadi problematika di saat tahun politik berlangsung, banyak agenda terselebung yang ingin dilakukan. Narasi dan diksi yang digunakan untuk sekedar kepentingan elit politik semata. Sama halnya seperti pemilihan legislatif, terkadang satu keluarga besar memiliki preferensi politik yang berbeda.
Dan lantas memutuskan hubungan kekerabatan karena perbedaan dalam politik. Bagi saya, hal ini adalah terburuk dalam berdemokrasi, tidak dewasa, dan jauh dari kebiasaan, norma sebagai manusia dan warganegara Indonesia.
Jatuh akhirnya pada sebuah kesimpulan: politik mampu menghilangkan nilai, norma, dan tentu etika keharusan sebagai manusia Indonesia. Miris memang, tapi inilah fakta yang tumbuh, muncul dan ada di tahun politik 2019 sekarang.
Bagi saya, perbedaan adalah hal wajar, perbedaan adalah perihal yang ada pada sisi idea/gagasa. Dalam daripadanya, ada hal yang lebih subtansial yang perlu bersama kita bangun dan kembangkan. Yakni, kehidupan yang madani, artinya: gembira bersama, persamaan dalam kemanusiaan, berkecukupan dalam kehidupan, bergerak dalam kebenaran, dan keadilan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar