Jumat, 03 Agustus 2018

Emosi itu Sastra

Karangan indah hanya untuk orang yang sedang di mabuk cinta, di mabuk asmara; dan/atau bahkan sebaliknya. Hal itu lazim, hampir ditemukan di setiap sudut daerah. Tak khayal banyak dari mereka yang sedang di mabuk cinta mampu menuliskan puisi sedemikian indahnya. Ragam rupa karya sastra bisa di tulis, di lukis, dan di karangnya. Mungkin karena rasa itu muncul dan timbul dari dalam hati. Karena pada dasarnya menulis jika menggunakan hati akan lebih bermakna dalam diri. Sehingga tulisan yang ditampilkan sangat indah untuk dinikmati. Lebih lagi di baca oleh orang lain yang merasakan hal serupa dengan sang empunya.

Untaian demi untaian kata, menjadi sebuah kalimat indah. Serat roumansa manis, berbuah surga. Berbagai macam tipu muslihat terucapkan demi memperoleh hati si pujaan hati. Mulanya tak pandai berbahasa, tak pandai merangkai kata, tak pandai berpuisi? Akhirnya, Mereka pun belajar dan berusaha untuk menyusun kata indah itu. Demi apa? Tidak lain adalah untuk mendapatkan kecintaan yang di idam-idamkan.

Lukisan dan tulisan indah tertuang setiap hari, rasanya kehidupan bagaikan surga. Cinta merubah segala-galanya, cinta merubah kata menjadi karya sastra. Banyak dari mereka, banyak sekali Aku temui kalimat-kalimat yang semantik dalam karyanya. Indah logis, dan menghanyutkan perasaan. Begitulah cinta dalam bahasa tulisan. Tulisan yang merubah menjadi lukisan manis dan bermakna dalam dirinya, dan makhluk serupa dengannya.

Namun sebaliknya, ketiadaan cinta lebih menyedihkan lagi. Tak jauh berbeda, lukisan manis berganti pahit. Warna dalam diri seketika menjadi buram. Marah, memerah, memaksa iblis masuk dalam diri. Tulisan pun berganti menjadi dendam, kebencian, dan kemarahan. Ketiadaan cinta berupa pengkhiantan merusak hatinya. Padam jiwanya, rasa dalam hati berganti menjadi tulisan penuh penyesalan. Macam emosi di tampilkan dalam karya sastranya.

Sastra pun tak lagi indah di lidah, ataupun di tulisan. Menjadi duka; menjadi kolam air mata. Setiap untaian kata tertulis dengan rasa tangis dalam jiwa. Sepertinya hidup tak lagi berbahagia, sepertinya hidup tak lagi ada masa depannya. Kebencian itupun timbul, namun di lain pihak. Logika memaksa hati untuk tetap tegar, untuk tetap memandang ke depan. Kecemburuan menjadi balutan dendam semakin tebal. Entah salah siapa? Atau waktu yang menghendakinya? Atau bahkan rahasia ilahi yang menjadi takdirnya?

Tapi boleh Aku sampaikan, kedukaan mengundang narasi terbaik dalam percintaan. Drama terbaik dalam hidup hanya ada dua. Tentang emosi kebaikan, dan emosi keburukan. Aku lebih suka kepada emosi keburukan, karenanya utaian kalimat lebih masuk dan bermakna pada jiwa-jiwa yang kosong. Seolah kalimat, diksi sederhana itu menjadi penerang. Bahwa kesimpulan cinta tak sebatas indah, tapi cinta membuat marah, gelap dan murka.

Emosi berucap setiap nada-nada dalam tulisan. Emosi memberi makna kata demi kata berikutnya. Melukiskan kalimat penuh jiwa yang gundah, batin yang resah. Ya! Di mabuk cinta menjadi di mabuk benci.  Memori baik berubah menjadi buruk, kenang manis menjadi pait, pengorbanan menjadi pamrih. Rasa-rasanya ketidak-ikhlasan menerima takdir dari sang waktu.

Cinta dan Benci adalah rasa, adalah emosi dalam diri. Melekat dan hidup indah di setiap insan manusia. Kata, kalimat adalah bentuk ekspersi diri, mengungkapkan sebuah eksistensi. Keduanya adalah emosi, lagi emosi, dan lagi emosi. Karena berkat emosi lahirlah sastra indah dalam kata-kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar