Kamis, 05 Juli 2018

Gunung Bromo Lagi

Bromo bukan lagi wisata baru bagiku, setidaknya sudah sebanyak empat kali aku berkunjung. Hari sabtu, tertanggal duapuluh tiga juni dua ribu delapan belas. Semuanya cerita berawal dari sini. Kisah perjalanan panjang, yang tak pernah kunjung usang. Setidaknya aku bisa menceritakan di blog. Pribadi. Meski tak ada pengunjung yang berkenan menengok tulisanku, tapi jejak digital kelak akan tersampaikan pada anak-cucu-dan saudaraku. Bulan juni adalah bulan kemarau, inilah fenomena alam di Negara Indonesia tercinta. Khatulistiwa, dengan iklim tropisnya. Konsekuwensi adalah terjadinya dua musim dalam setahun, yakni kemarau dan penghujan. Begitu teorema yang ada di mulai dari tingkat dasar sampai tingkat atas mengamini fakta bahwa Indonesia beriklim tropis.

Aku, yang mengebu-gebu untuk mendapatkan nyala bola api panas ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan temperatur jutaan celcius panasnya. Sebagai penerang seluruh tata surya, dan juga menjadi sumber kehidupan di muka bumi manusia. Hal terindah saat berjumpa dengannya, adalah dalam keadaan awal muncul. Karena nyalanya begitu indah, mempesona, menghanyutkan dalam jiwa yang tidur terdiam. Ya! Itulah matahari terbit, tempat terbaik untuk merenungkan diri, tempat melamun terindah, tempat berimajinasi terbaik, dan sejuta khayal terukir indah dalam suasana kuning kemerahan. Di iringi deburan embun pagi, susana sejuk menambah ke erotis-an alam yang siap memperkosa jiwa yang sepi-sunyi-beku.

Aku, berangkat dini hari, sebelum semua kegitan dan aktifitas berjalan. Tepat-ku tengok lonceng kuning di tangan kiri-ku. Kupandangi rupa yang berkilau, dan menunjukan angka-angka satu sampai dua belas. Dan aku melihat di jarum pendek menuju ke angka empat, dan jarum panjang ke angka dua belas. Sedangkan jarum kecil itu berputar seirama dengan deguban jantung. Selalu setia dan begitu berputarnya selaras dengan mekanik roda-roda per-second-nya. 

Aku, adalah pacuhan kuda merah yang setia menemani berkencan kemana-pun tujuannya. Tak pandang pagi, siang, dan malam, aku hanya setia pada majikanku. Dia setia, setia menemaniku dalam perjalanan. Satu yang hanya dia butuhkan saat dipertengahan jalan, dia hanyalah butuh minum, entah minum dalam bentuk oplosan minyak-minyak di SPBU. Karena aku memberikan minum dengan jenis berbeda, saat kurang duit, aku memberinya jenis minuman premium, kalau ada duit aku memberinya minum jenis pertamax dan pertalite. Setidaknya sekarang aku lebih umum memberikannya minum pertalite. Si kuda merahku tak pernah membenci, dan memilih-pilih jenis minumannya, dia ikhas menerima. Asal diberikan minum, dia tidak pernah nakal dan mogok untuk bekerja. 

Aku, dan kecintaanku. Saat indah di atas gunung adalah di temani oleh pujaan hati. Terlebih dalam perjalanan panjang, ada teman hati berbicara, menceritakan kejadian-kejadian panjang selama berpertualang. Mengindahkan cerita dari fakta lengkap selama perjalanan. Melepaskan rindu, kasih, dan hanyutnya dunia kebatinan dalam jiwa. Lengkap sudah, itu yang bisa aku kata. Karena bagiku, kelengkapan kehidupan adalah di cinta dan mencinta. Serasa mati, bila hidup tak memiliki itu, setidaknya ada hal yang diceritakan, untuk berbagi, teman setia menanti jawaban-jawaban saat memberi dan menerima cerita, keluh kesah, nestapa, gembira, suka-cita, dan bahagia. 

Aku, dan dia tentunya. Sampai di ketinggian pukul enam pagi. Dingin, berkabut, dan menyebabkan saraf dalam tubuh beku seketika. Pagi hari yang bodoh saat keluar dengan kendaraan roda dua. Itu yang tergambarkan, ternarasaikan, terceritakan pada posisiku dengan keadaan cemberut. Meski aku membalut tubuhku dengan empat lapis dan satu lapis kertas koran. Semuanya belum cukup menahan dinginnya Bromo di ketinggian. Ah, sudahlah. Berani keluar, berani ke Gunung Bromo, berani pula menantang dinginnya kabut di atas ketinggian. Setidak-tidaknya ada pada ketinggian dua-tiga ribu-an meter dari permukaan air laut. Influenza-ku kambuh, dadaku berat, pori-pori kulitku kaku. Kenapa bisa aku mengalami kondisi demikian diatas ketinggian gunung Bromo? Apa hanya aku yang mengalami ini? Atau memang kesalahan gunung Bromo yang di takdirkan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dingin? Atau seperti apa, aku tak peduli. Yang pasti, aku kaku, beku, dan influenza-ku menyerang.

Aku, dan dia tentunya. Berkonflik selama perjalanan. Entah aku menganggapnya apa, dan bagiku ini bukan barang baru, atau saling emosi, dan egois. Memenangkan ke-aku-an semata. Dan/atau kondisi yang tidak memungkinkan saat bertanya hal-hal yang sensitif. Mulanya lancar cerita gosip tentang masa-lalunya. Saat habis cerita yang kusimak dengan nyata, seksama, dan jernih. Tiba saatnya mengungkap fakta yang ada di ketinggian Gunung Bromo yang tanjak, menikung, dan sadis. Aku terpecah fokus, tapi kalau aku timbang, lebih mendominan keselamatan, dan mantap pandangan di jalanan. Saat di alihkan, akupun berujar. Sebentar, masih fokus sama jalanan. Di sana akar konflik yang terjadi. Ah, sudahlah, mungkin aku yang dungu tak memahami hati wanita lebih dalam lagi. Atau aku yang kurang ilmu, sehingga teorma yang aku pelajari dengan seketika kemput dan hangus di makan api bara-nya, dan digilas renyah dalam penggilingan. Tidak, atau bukan, karena memang akal tak mampu berkata tentang hati wanita, karena sejatinya rasa. Ya! mungkin yang lebih terjunjung utama dalam dirinya. Atau diam bearti salah, atau melawan bearti salah, entah misteri apa yang tersemat dalam sesosok daging yang bersemayan diberi jiwa, dan kucintai ini?, akh, ketidak-tahuanku membuat aku semakin nestapa saat dia marah, membenci, dan diam dalam kesalahan yang dibuatnya, atau aku yang perbuat. 

Aku, dan dia tentunya. Sampai di tiket masuk pertama, di tarik retribusi untuk hal keselamatan. Semacam asuransi, entah itu ilegal atau tidak, aku kurang fokus mendalaminya. Yang penting aku dan dia bayar, lepas dari itu aku melanjutkan perjalanan dan menuju lokasi pembayaran tiket selanjutnya. Ya! Tiket utama untuk masuk ke Wisata Nasional Gunung Bromo. Dan Tiket berupa tadi asuransi, jasa marga, atau jasa-jasa apalah itu, istilah yang rumit untuk di ingat dan hafalkan. Yang di hargainya, perkepala senilai tujuh ribu lima ratus rupiah. Tarif berduanya, senilai lima belas ribu rupiah. Dan nominal ini yang bombastis, hanya di tukar dengan lembaran tak ada arti, tak lebih dari nilai seratus perak. Akh, bisnis macam apakah ini? Inginku ungkap, sesekali. Jatuh lari uang itu kemana? Pajak, atau sebagainya. Liar benar tarif yang dipatoknya.

Aku, dan dia tentunya. Sampai di pembayaran tiket utama, di tarif sebesar enampuluh ribu rupiah. Semuanya terbayarkan dengan detail perincian dua puluh lima ribu rupiah perorang. Dan tarif kendaraan roda-dua senilai lima ribu rupiah. Dan dua ribu lima ratus rupiah, perkepala dan itu semuanya untuk jasa-jasa tidak jelas arahnya, istilah yang susuh dan misterius untuk ku kenang. Tapi pokok permasalahan ini bukan jadi soal serius buat mereka yang niatkan diri me-refres pikiran. Jadi tarif total yang perlu disediakan senilai tujuh puluh lima ribu rupiah, dengan dua kepala, dan satu kendaraan roda dua. Akh, si kuda merahku dengan tenaga duapuluh lima cc kena cas tiket masuk.

Aku, dan dia tentunya. Takut menuju ke kawah, dan terpaksa kembali ke sain-ponit. Kabut tebal, iya, kabut yang sangat tebal. Aku lihat lonceng kuning di sebelah kiri-ku, aku dapatkan pukul enam tiga puluh menit. Terlalu pagi mungkin untuk menerobos kabut putih dibawah gunung Bromo. Sampai di sain-point, aku memesan bakso. Bakso khas tengger, atau mungkin khas pasaran pada umumnya. Akh, entah seperti yang apa-ku jelaskan, pada prinsipnya bakso seperti itu wujudnya, pentol, tahu, mie, gorengan, dan kuah. Tidak ku beri saos, dan tidak juga cabai. Karena aku melihat dua macam larutan itu mengerikan, mungkin karena dingin, atau mungkin karena kedaluwarsa. Kuparkirkan si Supra, dan kutinggal dia. Dia bawa tas, aku bawa helmku. Antisipasi takut ada copet ditengah ke-ramaian Gunung Bromo. 

Aku, dan dia tentunya. Berfoto, mengabadikan moment liburan di spot yang berbeda. Aku tidak tahu sebelumnya kalau ada spot bagus dari sebelumnya. Lokasi itu adalah taman bunga, dan memang masih belum terjamah, dan belum banyak orang mengetahuinya. Mungkin karena memang terhalangi bangunan-bangunan. Dan memang ada ekosistem yang ingin di kembang-kan. Bungan edelwis, entah tulisannya seperti apa? Aku tak tahu, karena bukan penggemar lingkungan, lebih lagi bukan orang biologi. Tapi aku rasa, pembaca budiman pasti tahu maksud yang aku sampaikan. Di sana selain disuguhkan pemandangan bunga, juga disuguhkan view of bromo dari sisi yang berbeda. Dan aku dan dia tentunya, beruntung sekali sepagi ini, selain dapat melihat nyala bola api di pagi hari, aku pun dapat melihat secara langsung letupan belerang yang menghembus di dalam perut bumi, di buka dengan corong gunung. Ya! Corong gunung Bromo.

Aku, dan dia tentunya. Turun ke kawah, mengeksplor lebih jauh lagi tentang gunung Bromo. Padang ilalang hilang, menguning, dan tak lagi hijau seperti di bulan januari. Entah mengapa, inilah peristiwa alam. Karena musim kemarau, inilah yang menjadi keharusan bahwa rumput memudar. Bukit teletubis juga tak lagi elok di pandang, meskipun banyak kerumunan orang berdatangan, tapi tidak romantis jika datang di bulan juni. Tapi, ada alasan tersendiri, bagi yang suka dengan spot berbeda, perbedaan bulan menjadi momentum berharga, bisa menjadikan sebuah cerita, penuh drama, dan narasi yang menghidupkan sanubari pembaca. Bagi-ku, kuning bukan bearti buruk, tapi keindahan yang bernilai lain. Tapi saat itu, aku tidak dapat berkunjung ke penanjakan satu, karena bermacam alasan, keliru, dan sebagainya.

Aku, dan dia tentunya. Puas memandang gunung Bromo, meskipun aku telah tiga kali bersama Silviana Noerita, tapi tak pernah bosan aku mengunjungi Gunung yang berada di antara wilayah Probolinggo-Pasuruan-Malang-Lumajang. Dan budaya tenggernya, menjadikan ke-khas-an. Boleh kiranya aku berkunjung saat perayaan ibadah, ingin aku melihat budaya kasodo secara langsung, terlebih pesta demokrasi, pemilihan kepala desa yang terdengar kabar, ada petuah agung, tidak lagi memilih seperti demokrasi pada umumnya. Ingin aku menggali lebih dalam lagi, ingin pula-ku melihat munculnya mentari pagi di puncak ketinggian. Entah kapan? Biar waktu yang me-misteri-kan semuanya. Selebihnya, pengharapan, doaku ini menjadi ter-kabulkan. Dan semoga bisa berpertualangan lagi dengan Silviana Noerita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar