Zaman memang di tuntut selalu berkembang begitu pesat, sama halnya dengan masyarakat dan peradaban. Kadang Aku heran, betapa perkembangan pengetahuan lewat teknologi menjadi problem sosial terbesar saat ini. Terlihat dari seberapa besarnya tingkat kriminal yang ada di udara melalui hujatan dan makian. Dari hasil temuan pengamatan, dan Aku dapatkan hampir di dominasi oleh pengguna yang berselancar di media sosial. Sebut saja media sosial yang mainstream seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Setidaknya 3 media sosial yang Aku sebutkan tadi adalah ladang dari berita-berita yang di buat menurut versi kebenaran bagi para pembuatnya. Dengan narasi yang di olah sedemikian baiknya. Hingga akhirnya para pembaca lebih tertarik dengan opini semu dengan tanpa ada landasan keilmuan yang jelas. Lebih lagi dalam mengungkap fakta, hanya secuil fakta yang dikutip lalu kemudian selingan dari narasi versi kebenarannya sendiri.
Media bagiku sebatas sebagai alat komunikasi, sebagai pengantar informasi. Sebagaimana kita ketahui bersama, kalau media itu tidak-lah buruk dan tidak jelek pula. Semua media bagiku adalah netral, seperti halnya media mainstream televisi, radio, dan koran. Semua netral, dan memang begitu lazimnya. Tapi karena ada desakan, kebutuhan dan pengaruh politik, hingga ada campur tangan uang dibalik bisnis berkedok media. Akhirnya media yang tadinya netral menjadi tidak lagi netral. Media kemudian berjalan sesuai dengan permintaan. Lantas kemudian mengairahkan semangat penggunanya, lebih lagi bagi mereka yang hobby dengan internet dan tentu mendapatkan uang. Artinya menjadi sebuah profesi, dan dari sinilah tercipta sebuah tim yang baik untuk membentuk opini publik. Seperti halnya skenario cerita drama, mereka-lah dalang dari isi infromasi lewat media-media yang ada. Sempurna pekerjaan ini, dan istilah lazimnya adalah Buzzer. Yang artinya sebuah pekerja yang bermain dengan media internet dengan dukungan beberapa tim solid, dan tujuannya yang tidak lain adalah kepentingan dan bisnis. Tidak lagi menjadi hal baru, kalau salah satu pendukung entah itu dari pemerintah ataupun oposisi yang siap menyerang dengan berbagai macam narasi indahnya. Karena Buzzer di buat dan di cipta menurut tugas masing-masing.
Aku telah masuk di usia yang terbilang matang, tidak pernah berhenti untuk belajar. Menyimak adalah cara terbaik-ku untuk mengetahui perkembangan media-media yang ada. Aku sering aktif berselancar di media sosial; seperti Twitter dan Facebook. Dari linimasa ke linimasa, dari wall-ke-wall, dan kicauan ke kicauan Aku amati semuanya. Dan, Aku mengamati semua pergerakannya nyaris seperti hiburan. Kalaupun di narasikan sepertinya tak kemput dengan ratusan halaman, untuk menuliskan tabiat orang-orang dengan jutaan Akun aneh yang mereka buat di media sosial. Sampai Aku berpikir, manusia tapi terkontrol dengan cara copy-paste narasi dan diksi yang sama. Entah Akun buatan mereka sendiri, yang kemudian di gerakan dengan satu ataupun dua orang. Atau bahkan membutuhkan banyak orang untuk membentuk materi yang cukup di buat bahan menyeting dan menyetir opini publik. Setelah opini terbentuk, ujaran kebencian berlangsung sukses dari pekerjaan Buzzer.
Lain sisi, nampaknya pengaruh dari media sosial bagiku tidak telalu signifikan. Terlihat jelas dari beberapa gerakan di media sosial, dan dengan menggunakan tagar (baca: hastag) tidak terlalu berdampak luas kepada masyarakat. Utamanya terhadap Pemilukada kemarin. Apalagi Aku pernah survie di lapangan, preferensi tentang media yang paling umum digunakan oleh masyarakat adalah televisi, selebihnya issue yang di rentet dari mulut ke mulut. Mungkin temuan data lapangan adalah generasi tua (baca: Gen. Baby Bomber), selebihnya dari generasi pelajar, siswa, dan mahasiswa yang lebih intens berselancar di media sosial. Selain tidak memilik pekerjaan, dunia internet bagi mereka adalah barang baru dan tentu mengasikan. Dan sialnya lagi, mereka mudah tercemar dan mudah tergerak dengan infromasi jahat. Karena memang masih belum mampu menilai tentang baik dan buruk, tentang benar dan salah. Akhirnya terbentuk pikiran sesat, memilih ikut kebanyakan orang tanpa melihat duduk perkara secara matang dan sehat. Lalu, ikut menghujat dan mencaci. Mulailah menjadi sebuah kebiasaan yang terbudayakan. Dan kebanyakan orang adalah Akun robot, artinya hanya Buzzer yang mereka ikuti.
Menjadi sebuah keharusan agar pelajar memiliki pengetahuan tentang media. Menganalisa media, atau istilah lainnya framing media. Sehingga para generasi yang muda kita tidak mudah terprovokasi oleh Akun-Akun bayaran di media sosial. Karena rasa ingin tahu yang tinggi membuat sebagian besar pelajar belum berpikir dibalik apa yang telah di nikmatinya. Lebih lagi maksud dari Akun-Akun yang mereka ikuti sebagai model dalam dirinya. Dengan pendidikan analisa media, setidaknya generasi muda kita bisa menilai akan baik dan buruknya informasi dari sumber berita yang tampilkan. Bukan lantas ikut terjerumus membuat hoax dan ujaran kebencian baru. Melainkan cerdas dalam menggali informasi. Dengan membaca berita yang tidak utuh menjadi salah satu faktor kesalahan generasi kita. Akhirnya mudah terpancing, dan terbawa emosi. Karena tujuan dari Buzzer tidak lain adalah untuk menyuarakan kepentingan.
Lebih lagi memasuki tahun politik yang panas, suhu politik nasional pun mulai hangat. Sejak pilkada serentak tanggal 27 Juni 2018 kemarin sampai tahun depan akan memanas hingga di plosok negeri. Lebih lagi Buzzer yang siap menggoreng, dan menyebarkan fitnah keji. Karena bagiku, sebagai pengamat media sosial awam. Perang sesungguhnya hari ini bukan lagi perang lewat gerakan fisik, akan tetapi gerakan non-fisik. Artinya dengan menggunakan media, kita bisa salurkan apapun yang ingin kita sampaikan. Sampai Aku pun bingung, mana yang merupakan media baik untuk dipercaya, kadang banyak hoax dan Akun bayaran dari media. Tidak keliru jika Aku mengatakan jikalau media terpercaya sekalipun membuat hoax-nya sendiri. Lalu bos pemiliki media berkata, inilah bisnis. Itu yang menjadikan tingkat kepercayaan pada masyarakat mulai melemah kepada media.
Twitter salah satu media yang menjadi ajang saling mengumpat, saling mencaci maki. Dengan berbagai macam issue digerakan, ragam materi yang siap mereka sajikan. Kadang Aku terpingkal-pingkal; kenapa ada orang yang mau dibayar untuk membela mati-matian? Atau memang itu menjadi pekerjaan mereka, kontrak dan kemudian lepas dari kontrak, yang artinya selesai. Kalau dibutuhkan lagi tinggal dipanggil, kemudian bekerja lagi. Begitu terus menerus siklus dalam Buzzer. Selain itu, instagram siap memberikan berita dalam wujud gambar dan grafik yang lebih mudah dan di sukai oleh generasi muda kebanyakan. Di instagram-pun ada Buzzer-nya, mereka menyebutnya dengan fans dan/atau hatters. Tidak jauh berbeda, keduanya saling menyerang dengan tujuan untuk menjatuhkan target sasarannya dan/atau menjunjung target sasaran. Di Facebook? Nyaris tidak jauh berbeda.
Media sosial jadi ajang meng-absen para binatang. Kenapa tidak? Banyak diantara mereka melakukan umpatan saling serang dengan menggunakan berbagai macam bahasa-bahasa hewani. Aku katakan masalah tersebut sebagai politik kebun binatang. Maksudnya cara manusia tidak lagi digunakan. Akan tetapi sebaliknya, cara binatang yang digunakan. Seperti apa hewan itu berinteraksi? Maka itulah politik kebun binatang yang ada sekarang. Seni berpolitik macam apa kalau hanya mengandalkan umpatan, kebohongan, dan kebencian belaka? Berfaedahkan? Lebih lagi menggunakan Akun palsu. Buzzer oposan pemerintah menyebut Buzzer dan junjungannya dengan julukan cebong, atau kecebong. Kecebong adalah Anak katak, mungkin maksud mereka (baca: oposan) banyak dan berkeliaran di genangan kolam. Diumpamakan sebagai anak katak yang belum siap dalam fase metamorfosis sempurna. Sehingga yang terpikirkan hanya berenang dan ikut pimpinan di depannya. Sebaliknya Buzzer junjungan pemerintah pun sama, mengumpat dengan julukan kampret. Kadang semakin tinggi emosinya, keluar macam jenis dan nama-nama hewan di kebun binatang.
Ragam hewan di kebun binatang yang mereka absen mulai dari kambing, sapi, monyet, anjing, kuda, kera, banteng, buaya, domba, dan macam jenis hewan lainnya. Maksud dan tujuannya tak lain hanya untuk membuat sensasi di media sosial, seolah-olah membawa kebenarannya versi masing-masing. Lisan yang terwakilkan dalam umpatan kata-kata di Media sosial jauh lebih massive, lebih lagi didukung oleh rekan satu tim. Buzzer yang siap menggerakan, dan menjadikan treanding topik bahasan waktu itu.
Point pentingnya adalah bagaimana kita tidak terlalu mudah percaya kepada media. Sebab media banyak kepalsuan, hanya di buat agar kita merasa dendam, iri, dan dengki kepada seseorang. Dengan banyak berselancar di media sosial membuat kita semakin cerdas untuk menelaah baik dan buruk informasi yang ditampilkan. Sehingga tidak takut dengan kebaruan dari problem bangsa. Kalau memang ada percakapan yang tidak sesuai dengan faktanya, kita bisa bicarakan secara langsung. Karena suasana kebatinan lewat kata (baca: tulisan text) jauh berbeda dengan ketika bertemu langsung bertatap muka. Gunanya adalah agar tidak saling beradu serang dengan menggunakan media yang saling di beli yakni; Buzzer. Hasilnya bukan menjadi lebih baik, akan tetapi sebaliknya, solusi tidak didapatkan, melainkan masalah yang semakin melambung tinggi. Karena sejatinya Buzzer adalah permintaan si pembayarnya. Selebihnya Mari kita lebih dewasa dalam bermain kata-kata di media sosial. Lebih lagi dalam memainkan jempol kita, lebih baik dipikirkan dahulu daripada meninggalkan bekas jejak digital di masa lalu.
Media bagiku sebatas sebagai alat komunikasi, sebagai pengantar informasi. Sebagaimana kita ketahui bersama, kalau media itu tidak-lah buruk dan tidak jelek pula. Semua media bagiku adalah netral, seperti halnya media mainstream televisi, radio, dan koran. Semua netral, dan memang begitu lazimnya. Tapi karena ada desakan, kebutuhan dan pengaruh politik, hingga ada campur tangan uang dibalik bisnis berkedok media. Akhirnya media yang tadinya netral menjadi tidak lagi netral. Media kemudian berjalan sesuai dengan permintaan. Lantas kemudian mengairahkan semangat penggunanya, lebih lagi bagi mereka yang hobby dengan internet dan tentu mendapatkan uang. Artinya menjadi sebuah profesi, dan dari sinilah tercipta sebuah tim yang baik untuk membentuk opini publik. Seperti halnya skenario cerita drama, mereka-lah dalang dari isi infromasi lewat media-media yang ada. Sempurna pekerjaan ini, dan istilah lazimnya adalah Buzzer. Yang artinya sebuah pekerja yang bermain dengan media internet dengan dukungan beberapa tim solid, dan tujuannya yang tidak lain adalah kepentingan dan bisnis. Tidak lagi menjadi hal baru, kalau salah satu pendukung entah itu dari pemerintah ataupun oposisi yang siap menyerang dengan berbagai macam narasi indahnya. Karena Buzzer di buat dan di cipta menurut tugas masing-masing.
Aku telah masuk di usia yang terbilang matang, tidak pernah berhenti untuk belajar. Menyimak adalah cara terbaik-ku untuk mengetahui perkembangan media-media yang ada. Aku sering aktif berselancar di media sosial; seperti Twitter dan Facebook. Dari linimasa ke linimasa, dari wall-ke-wall, dan kicauan ke kicauan Aku amati semuanya. Dan, Aku mengamati semua pergerakannya nyaris seperti hiburan. Kalaupun di narasikan sepertinya tak kemput dengan ratusan halaman, untuk menuliskan tabiat orang-orang dengan jutaan Akun aneh yang mereka buat di media sosial. Sampai Aku berpikir, manusia tapi terkontrol dengan cara copy-paste narasi dan diksi yang sama. Entah Akun buatan mereka sendiri, yang kemudian di gerakan dengan satu ataupun dua orang. Atau bahkan membutuhkan banyak orang untuk membentuk materi yang cukup di buat bahan menyeting dan menyetir opini publik. Setelah opini terbentuk, ujaran kebencian berlangsung sukses dari pekerjaan Buzzer.
Lain sisi, nampaknya pengaruh dari media sosial bagiku tidak telalu signifikan. Terlihat jelas dari beberapa gerakan di media sosial, dan dengan menggunakan tagar (baca: hastag) tidak terlalu berdampak luas kepada masyarakat. Utamanya terhadap Pemilukada kemarin. Apalagi Aku pernah survie di lapangan, preferensi tentang media yang paling umum digunakan oleh masyarakat adalah televisi, selebihnya issue yang di rentet dari mulut ke mulut. Mungkin temuan data lapangan adalah generasi tua (baca: Gen. Baby Bomber), selebihnya dari generasi pelajar, siswa, dan mahasiswa yang lebih intens berselancar di media sosial. Selain tidak memilik pekerjaan, dunia internet bagi mereka adalah barang baru dan tentu mengasikan. Dan sialnya lagi, mereka mudah tercemar dan mudah tergerak dengan infromasi jahat. Karena memang masih belum mampu menilai tentang baik dan buruk, tentang benar dan salah. Akhirnya terbentuk pikiran sesat, memilih ikut kebanyakan orang tanpa melihat duduk perkara secara matang dan sehat. Lalu, ikut menghujat dan mencaci. Mulailah menjadi sebuah kebiasaan yang terbudayakan. Dan kebanyakan orang adalah Akun robot, artinya hanya Buzzer yang mereka ikuti.
Menjadi sebuah keharusan agar pelajar memiliki pengetahuan tentang media. Menganalisa media, atau istilah lainnya framing media. Sehingga para generasi yang muda kita tidak mudah terprovokasi oleh Akun-Akun bayaran di media sosial. Karena rasa ingin tahu yang tinggi membuat sebagian besar pelajar belum berpikir dibalik apa yang telah di nikmatinya. Lebih lagi maksud dari Akun-Akun yang mereka ikuti sebagai model dalam dirinya. Dengan pendidikan analisa media, setidaknya generasi muda kita bisa menilai akan baik dan buruknya informasi dari sumber berita yang tampilkan. Bukan lantas ikut terjerumus membuat hoax dan ujaran kebencian baru. Melainkan cerdas dalam menggali informasi. Dengan membaca berita yang tidak utuh menjadi salah satu faktor kesalahan generasi kita. Akhirnya mudah terpancing, dan terbawa emosi. Karena tujuan dari Buzzer tidak lain adalah untuk menyuarakan kepentingan.
Lebih lagi memasuki tahun politik yang panas, suhu politik nasional pun mulai hangat. Sejak pilkada serentak tanggal 27 Juni 2018 kemarin sampai tahun depan akan memanas hingga di plosok negeri. Lebih lagi Buzzer yang siap menggoreng, dan menyebarkan fitnah keji. Karena bagiku, sebagai pengamat media sosial awam. Perang sesungguhnya hari ini bukan lagi perang lewat gerakan fisik, akan tetapi gerakan non-fisik. Artinya dengan menggunakan media, kita bisa salurkan apapun yang ingin kita sampaikan. Sampai Aku pun bingung, mana yang merupakan media baik untuk dipercaya, kadang banyak hoax dan Akun bayaran dari media. Tidak keliru jika Aku mengatakan jikalau media terpercaya sekalipun membuat hoax-nya sendiri. Lalu bos pemiliki media berkata, inilah bisnis. Itu yang menjadikan tingkat kepercayaan pada masyarakat mulai melemah kepada media.
Twitter salah satu media yang menjadi ajang saling mengumpat, saling mencaci maki. Dengan berbagai macam issue digerakan, ragam materi yang siap mereka sajikan. Kadang Aku terpingkal-pingkal; kenapa ada orang yang mau dibayar untuk membela mati-matian? Atau memang itu menjadi pekerjaan mereka, kontrak dan kemudian lepas dari kontrak, yang artinya selesai. Kalau dibutuhkan lagi tinggal dipanggil, kemudian bekerja lagi. Begitu terus menerus siklus dalam Buzzer. Selain itu, instagram siap memberikan berita dalam wujud gambar dan grafik yang lebih mudah dan di sukai oleh generasi muda kebanyakan. Di instagram-pun ada Buzzer-nya, mereka menyebutnya dengan fans dan/atau hatters. Tidak jauh berbeda, keduanya saling menyerang dengan tujuan untuk menjatuhkan target sasarannya dan/atau menjunjung target sasaran. Di Facebook? Nyaris tidak jauh berbeda.
Media sosial jadi ajang meng-absen para binatang. Kenapa tidak? Banyak diantara mereka melakukan umpatan saling serang dengan menggunakan berbagai macam bahasa-bahasa hewani. Aku katakan masalah tersebut sebagai politik kebun binatang. Maksudnya cara manusia tidak lagi digunakan. Akan tetapi sebaliknya, cara binatang yang digunakan. Seperti apa hewan itu berinteraksi? Maka itulah politik kebun binatang yang ada sekarang. Seni berpolitik macam apa kalau hanya mengandalkan umpatan, kebohongan, dan kebencian belaka? Berfaedahkan? Lebih lagi menggunakan Akun palsu. Buzzer oposan pemerintah menyebut Buzzer dan junjungannya dengan julukan cebong, atau kecebong. Kecebong adalah Anak katak, mungkin maksud mereka (baca: oposan) banyak dan berkeliaran di genangan kolam. Diumpamakan sebagai anak katak yang belum siap dalam fase metamorfosis sempurna. Sehingga yang terpikirkan hanya berenang dan ikut pimpinan di depannya. Sebaliknya Buzzer junjungan pemerintah pun sama, mengumpat dengan julukan kampret. Kadang semakin tinggi emosinya, keluar macam jenis dan nama-nama hewan di kebun binatang.
Ragam hewan di kebun binatang yang mereka absen mulai dari kambing, sapi, monyet, anjing, kuda, kera, banteng, buaya, domba, dan macam jenis hewan lainnya. Maksud dan tujuannya tak lain hanya untuk membuat sensasi di media sosial, seolah-olah membawa kebenarannya versi masing-masing. Lisan yang terwakilkan dalam umpatan kata-kata di Media sosial jauh lebih massive, lebih lagi didukung oleh rekan satu tim. Buzzer yang siap menggerakan, dan menjadikan treanding topik bahasan waktu itu.
Point pentingnya adalah bagaimana kita tidak terlalu mudah percaya kepada media. Sebab media banyak kepalsuan, hanya di buat agar kita merasa dendam, iri, dan dengki kepada seseorang. Dengan banyak berselancar di media sosial membuat kita semakin cerdas untuk menelaah baik dan buruk informasi yang ditampilkan. Sehingga tidak takut dengan kebaruan dari problem bangsa. Kalau memang ada percakapan yang tidak sesuai dengan faktanya, kita bisa bicarakan secara langsung. Karena suasana kebatinan lewat kata (baca: tulisan text) jauh berbeda dengan ketika bertemu langsung bertatap muka. Gunanya adalah agar tidak saling beradu serang dengan menggunakan media yang saling di beli yakni; Buzzer. Hasilnya bukan menjadi lebih baik, akan tetapi sebaliknya, solusi tidak didapatkan, melainkan masalah yang semakin melambung tinggi. Karena sejatinya Buzzer adalah permintaan si pembayarnya. Selebihnya Mari kita lebih dewasa dalam bermain kata-kata di media sosial. Lebih lagi dalam memainkan jempol kita, lebih baik dipikirkan dahulu daripada meninggalkan bekas jejak digital di masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar