Senin, 09 Juli 2012

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI
 
PENDAHULUAN
Dalam makalah ini akan memaparkan tentang cabang-cabang dalam filsafat,
yang pertama di sebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah
ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi
dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan
pengetahuan?. Kedua di sebut dengan landasan epistimologis; berusaha menjawab bagaimna
proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya?
Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang
disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita
dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?. Sedang yang ketiga, di sebut dengan landasan
aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di
pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan
antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral/professional?
Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan
lainnya. Denganb mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah
kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan
manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni
dan agama serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya
kehidupan kita. Tanpa mengenal ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita
dapat memanfaatkan kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah dalam
menggunakannya. Ilmu di kacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, bukankah
tak ada anarki yang lebih menyedihkan dari itu?
  PEMBAHASAN
A.     Ontologi
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi
filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan
ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta
universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam
rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua
bentuknya.
1.      Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif,
realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas
akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau
hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua
yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di
belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De
Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari
alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.

2.      Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu :
abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan
keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat
umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik
mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang
dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan
menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu
dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P
Badan itu sesuatu yang lahiri                 (S-Tt)
Jadi, badan itu fana’                               (S-P)
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah
realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam
kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai
berikut:
Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus                    (Tt-S)
                Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan            (Tt-P)
                        Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan                     (S-P)
Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di
berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi
sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term
tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam
kesimpulan.[2]
Sementara Jujun S. Suriasumantri dalam pembahasan tentang ontologi memaparkan juga
tentang asumsi dan peluang. Sementara dalam tugas ini penulis tidak hendak ingin membahas dua
point tersebut.
 
B.     Epistemologi
Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan.
Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan
dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas
pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di
ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah
kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari
kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa
apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin
dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang
mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan
pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?[3]
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
a.      Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh
pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan
bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula
rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke,
seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil
penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak
kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat
diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau
tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya
bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual. 
b.      Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang
sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan
kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran
mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka
kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c.       Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman.
Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita
dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis
dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang
barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang
menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di
dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut
rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap
barang sesuatu serta pengalaman. 
d.      Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan
dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham
ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati
oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan
bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih
tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi
dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun
pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa
dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam
beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui
intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang
diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera
hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi,
yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu
seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan
kepada kita keadaanya yang senyatanya.
e.       Dan masih masih banyak lagi yang menjadi bahasan dalam  epistemology.
 
C.     Aksiologi
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan
penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun
bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu
bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan
kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan
lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga
menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan
perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana
adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu
itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana
perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan
urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi
ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan
hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat
di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral
namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya
tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari”
dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi
antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara
metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat
keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat
dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang
bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo
pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk
mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya
dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan
sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini:
kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral
maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran
secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini
berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya
moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.”
(adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur
intelektual?).
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah  berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek
yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?[4]
PENUTUP
  Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di tarik kesimpulan :
1.      Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang
hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap
manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.
2.      Epistemologi berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya
pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan
agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri?
Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu?.
3.      Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan
objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?[5]
 
DAFTAR PUSTAKA
 
 
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1996.
Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta, 2001.  
Louis O. Kattsouff, Pengantar filsafat, Tiara Wacana, Yogjakarta
Sidi Gazalba, Sistematika filsafat II, Yogjakarta, 1995.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar