Glipang |
Cerita yang saya
bawakan ini hasil dari pengalaman pribadi yang saya alami pada saat melangkah
menjadi mahasiswa pada tingkat akhir. Masa dimana yang lain disibukan dengan
tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana yang lazim didengar masyarakat
dengan julukan skripsi. Saya pun mengalami hal yang demikian, sama dengan
mahasiswa yang lain. Proses panjang tidak jarang saya jalani dan lalui dengan
ikhlas. Kendala dan tekananpun banyak dialami. Sedikitnya saya menyelesaikan
skripsi yang saya buat dalam jangka waktu yang terbilang panjang dan lama.
Selama 4 bulan saya melakukan penelitian dan selama itu pula saya mendapati
banyak kendala. Kendala yang saya hadapi sebenarnya adalah kendala klasik yang
semua orang rasa sudah tidak lazim lagi untuk didengar; Malas. Saat melihat
layar komputer dan duduk termenung dengan tumpukan banyak buku membuat
saya lebih banyak frutasi dan ingin
segera beralih dan beranjak pergi, entah kenapa spirit dan dorongan untuk
menulis sangat susah. Apalagi menulis dengan gaya bahasa yang formal dan sesuai
dengan kaidah dan aturan yang sudah ditentukan dalam perguruan tinggi.
Tepat pada bulan
november saya mulai menuliskan hasil tuntutan akhir dalam kuliah. Perjuangan
saya mulai dengan menuliskan proposal skripsi, dalam jangka waktu yang lumayan
singkat dan dengan kemauan yang besar karena mendapatkan tekanan dan motivasi
dari dosen pembimbing sehingga saya pun beranjak bangkit untuk menulis. Semua
tulisan yang saya tuliskan dalam bahasa yang baku dan formal dikonsultasikan
kepada dosen pembimbing, tidak jarang saya pun belajar. Bentuk coretan dan
kritikan sangatlah banyak, bukan bearti ini adalah tuntutan saya untuk menyerah
dan putus asa. Pada jangka waktu kurang lebihnya 2 minggu akhirnya proposal
yang saya buat mendapatkan lampu hijau walaupun tidak mendapatkan restu resmi
yang berupa ACC tapi saya memberanikan diri untuk membuat surat penelitian dan
melakukan penelitian di bulan itu, meski dalam pikiran saya masih belum ada
gambaran jelas bagaimanakah yang saya harus lakukan. Pemikiran yang saya
lakukan kala itu bisa dikatakan instan, tindakan yang saya lakukan banyak.
Alhamdulillah, benar pepatah orang yang mengatakan bahwa usaha tidak pernah mengkhianati
takdirnya. Saya pun setelah mendapatkan surat ijin dari Perguruan tinggi untuk
mengunjungi tempat penelitian melakuakn tindakan untuk melajutkan penelitian
dan meminta surat di bangkesbangpol di Kabupaten Probolinggo. Selama kurang
lebihnya satu minggu saya tinggal dirumah dan mendapatkan hasil yang memuaskan,
surat penelitian saya dapatkan. Secara de facto saya resmi mendapatkan ijin
penelitian dari perguruan tinggi dan pemerintah kabupaten Probolinggo. Memasuki
akhir bulan November, motivasi saya mulai surut dan kembali tidak tenang. Banyak
agenda untuk jalan jalan yang menjadikan faktor utama saya mulai lupa akan
skripsi, dan sejenak saya tinggalkan. Sempat mendapatkan komentar dari
pembimbing saya, yang berucapa kalau teman kamu sudah ada yang mendaftarkan
untuk sidang, sedangkan kamu kapan mau sidang. Sebenarnya saya sudah tidak
berniat lagi, semenjak ada kendala dalam penelitian untuk melanjutkan dan
menuliskan sehingga lulus dengan tempo waktu yang singkat.
Perjalanan hidup
saya pun berlanjut, sebab kerangka waktu terus maju dan maju tiap detik, menit,
jam, hari, minggu, bulan, tahun, abad, dst. Semua menandakan bahwa saya tidak
boleh terlalut akan nostalgia hitam dalam kehidupan, menulis pun saya
perjuangkan. Menuliskan sebuah karya ilmiah dalam lebaran lembaran putih yang
tak berbecak tidaklah mudah. Terlebih saat saya bimbingan kembali dengan dosen,
hal yang pertama kala itu diingat adalah cacian, sindiran dan hujatan halus.
Entah kenapa, saya mulai merenungkan kembali apa makna yang telah disampaikan
sampai sedemikian bahasa yang dilontarkan dari lidah halus yang terbungkus
bibir itu?. Kadang saya mulai berfikir akan kebodohan dan tindakan yang saya
lakukan. Kenapa hal ini terjadi? Kenapa rasa dan sifat malas ini muncul dikala
kondisi yang seperti ini? Bangkit dari keterpurukan kata petuah orang adalah
kegagalan yang tertunda, ada benarnya petuah itu. Ucapan yang saya dapatkan
saat masuk awal perkuliahan dan bimbingan dengan dosen pembimbing, ditanya soal
kehadiran dan kosultasi yang dilakukan. Saya ingat betul akan kata yang
diucapkan, “kamu selama setahun ini
kemana? Kenapa tidak bisa seperti teman yang lain, mereka sudah selesai
menyelesaikan tugas akhir skripsinya, kamu malah masih bimbingan disini”.
Ucapan kata ini memberikan arti bahwa saya harus lebih semangat dan tidak
terlena akan kenyamanan semu kehidupan semata. Dan, setelah saya berikan draf
bab 3 skripsi saya pada beliau, akhirnya beliau berucap kalau besok bisa
diambil. Rasa penasaran saya akan kata yang terucap terus dihantui dalam
pikiran kala itu, dan hingga hari ini. Apa maksud dan arti dari kata yang
terlontarkan itu? Pulang sampai dikontrakan saya pun masih terhantui akan kata
itu, salah tindakan yang saya lakukan pada akhir tahun kemarin. Bersamaan dengan
lelah menunggu, akhirnya saya tertidur dalam nostalgia kata kata pembimbing. Esok
harinya, dengan optimisme dan semangat baru saya beranjak dari kamar tidur dan
bergegas berpakaian rapi ala
mahasiswa. Niat untuk melihat hasil tulisan dari skripis yang sudah saya buat
itu, sampai dikampus saya bertemu dengan beliau. Seketika dalam perjalanan
mengajar perkuliahan, saya disuruh ikut dan masuk kantor jurusan. Dengan nada
lirih saya berucap, bagaiamana pak? Seketika itu dengan nada sindiran berucap “kamu
dirumah bukan tambah pintar, sering ngobrol sama embah embah itu ya? Atau kalau
dirumah kurang diskusi sehingga susah keluar idea?” cuplikan kata itu yang saya
ingat. Entah hinaan atau cacian sindiran dan sebagainya buat saya. Beranjak
dari kursi dan salim atas restu untuk merevisi dan kalimat terakhir dicuapkan
untuk membaca lagi tulisan yang sudah saya tulis ini.
Perjuangan untuk
memakai toga pun berlanjut, berlanjut dengan perjuangan. Konstultasi terus
dengan sistem grilya, sedikit yang saya tuliskan lalu saya konsultasikan dan
minta bimbingan. Benar dengan petuah dari seseorang yang mengatakan “data yang
kamu peroleh kalau tidak dituliskan akan percuma”. Petuah ini memberikan
semangat untuk kembali menuliskan karya ilmiah yang pertama dalam usia 22 tahun
ini. Sempat saya renungkan saat mandi, benar juga yang diwasiatkan, kadang
banyak dari mahasiswa merasa bangga dan bahagia apabila masuk dalam fase yang
disebut penelitian. Sebab dengan penelitian maka kita akan mendapatkan data
dari hasil lapangan, akan tetapi saya pun sempat berfikir; apa guna itu semua
apabila tak dituliskan? Data data yang diperoleh tadi hanya menjadi data mentah
saja, penelitian yang kamu peroleh tadi akan menjadi bahan bahan dasar saja,
bangunan yang terkonsep matang dalam ratio kalian belum terlihat jelas dalam
tuangan tulisan. Dan saya pun berfikir, hidup ini selalu tentang tantangan,
masalah dan ketidakwajaran, tidak jarang godaan dalam melakukan perjuangan
selalu ada dan mengiblisi setiap saat. Rasa malas pun yang terkubur dalam
lubang lumpur itupun muncul lagi, disaat motivasi bangkit rasa malas pun
datang. Tantangan yang sesunggunya dalam usaha mahasiswa memakai toga ialah
rasa malas, bukan untuk bisa atau tidak bisanya menulis, bukan pada pembimbing
yang selalu menghujat, bukan pada teman yang kadang kala menganggu, bukan pada
lingkungan sekitar, bukan pula pada internet dan media sosial yang kalian
miliki. Hakikat dari problema yang didapatkan saat saya berjuang untuk
mengenakan toga ialah AKU dan egoisitas akan keinginan iblis semata. Selebihnya
bonus godaan dari faktor eksternal, diri modal utama untuk bangkit, diri modal
utama untuk mau dan mau, diri modal utama untuk menulis, diri modal utama untuk
beranjak maju. Lupakan gulita lingkungan, jikalau hakikat diri mampu menjadi
prisai dan tameng akan bisikan iblis yang gentayangan maka semua problema yang
ada menjadi teratasi dengan wajar. Bertepatan dengan hal ini, saya memberikan
motivasi diri dan keinginan untuk bangkit, bangkit dari rasa malas menulis.
Hingga pada minggu minggu selanjutnya saya menyempatkan untuk bimbingan dengan
bahasa dan tulisan yang seadanya dan sewajarnya, dan hingga pada bulan februari
saya melakukan penelitian lagi. Sebab data yang saya tuliskan belum mencukupi
dan mengutarakan arti dari skripsi yang saya tuliskan. Perjuangan pun kembali
dilakukan, layaknya pangeran dengan pedang ditangan kanan dan menunggangi kuda
putih. Rasa percaya diri,dan key
untuk menang saya dapatkan setelah penelitian ini selesai. Akhirnya saya
menyempatkan untuk mampir lagi ke desa penelitian, sebenarnya sudah sering
mampir di desa ini. Mendapatkan banyak masukan dari dosen pembimbing memberikan
banyak idea untuk menjadikan penelitian yang lebih baik. Dalam penelitian kali
ini, saya bersama sanggar ikut untuk menarikan dan belajar menari kesenian
tarian. Melakukan gerakan dalam tarian sebanyak 16 jenis gerakan yang
ditampilkan yang diulang dan di acak secara sistematis ditampilkan. Jenis
kesenian tari yang ada di Kabupaten Probolinggo merupaka tarian yang khas dan
asli dari daerah. Meskipun banyak kultur yang diadobsi dari suku madura akan
tetapi secara hakikat jenis kesenian tari Glipang ialah kesenian tradisional
bawaan masyarakat pendil.
Saya pun belajar untuk menarikan gerakan, menggunakan
pakaian yang digunakan. Sempat was was pada saat menggunakan pakaian tari
Glipang dan ada rasa minder karena banyak orang yang menyaksikan saya
menggunakan pakaian ini. Sejenak saya pun terdiam sambil tertawa dalam hati,
apakah saya yang seperti ini mampu mengikuti jenis tarian dan gerakan yang akan
di mainkan? Selepas itu semua, saya pun mulai belajar gerakan demi gerakan.
Dengan sabar Marisin mengajarakn gerakan tari Glipang secara pelahan,
disertakan nama gerakan yang sebanyak 16 gerakan. Selepas gerakan selesai saya
tampilkan, mulailah saya menemukan jawaban atas pikiran saya sebelumnya; bahwa
semua jika diniatkan dan dengan maksud untuk belajar maka tidak ada istilah
tidak, semuanya pasti bisa. Saya yang hampir lama tidak menari (terakhir SD)
dan sekarang bisa menggerakan tarian asli Probolinggo. Saya menanyakan setiap
gerakan dan arti maknanya, sebab ada penggambaran dari setiap gerakan. Tidaklah
mungkin gerakan yang dibuat tidak ada landasan dasar dan tanpa makna yang akan
disampaikan. Saya sangat bersyukur, sebab atas himbauan dan saran dari dosen
pembinbing sehingga muatan data dalam skripsi lebih autentik. Saya lega, sebab
dengan tujuan inilah setidaknya mampu melahirkan beni baru dalam kebudayan asli
Indonesia. Saya beruntung, sebab dengan bukti inilah saya berkesempatan untuk
belajar kesenian, walapun saya bukan berada dalam jurusan seni tari akan tetapi
pengetahuan sangatlah penting dipelajari. Terlebih saya bisa mengartikan setiap
gerakan yang ada dalam kesenian tari Glipang. Rasa was-was dan takut yang ada
dipikiran semua hilang seketika dengan datangnya semangat untuk belajar.
Beruntung, saya
bisa belajar tarian tradisional. Proses penelitian saya belum berakhir,
selanjutnya saya ingin melihat secara langsung dan mendokumentasikannya secara
langsung penampilan dari kesenian tari Glipang. Dalam kegiatan pramuka yang
bertempat di Desa Nogosaren Gading Wakal, saya diberikan kesempatan untuk menyaksikan.
Mulai dari geladi resik, persiapan dan penampilan semua saya alami sendiri.
Banyak fakta yang bisa dipetik dan saya peroleh dari kejadian langsung ini.
Banyak hal yang berbicara, banyak hal yang diam semula mulai bergerak, ada
pikiran semula batu menjadi air. Motivasi apa kah ini? Diri seolah tergerak
untuk menuliskan lembaran-lembaran makna yang muncul dipermukaan untuk
dituliskan dalam paparan data dalam skripsi. Diri ingin menuliskan bait-bait
penting dalam bingkai sastra dalam skripsi. Diri mulai bangkit dan begegas
dengan data yang didapatkan berbicara lebih. Ucap syukur kala itu, saya bisa
lebih mendalami makna dari gerakan dan letak kearifan lokal yang terkandung
dalam setiap tampilan dalam gerakan tari Glipang. Selepas dari penampilan, saya
pun beranjak pulang. Sore hari tepatnya, saya pulang dengan mengendarai motor,
tidak jarang resa dan rasa was-was saya dapatkan sebab kondisi lingkungan yang
sepi membuat ketakutanpun menjadi. Ucap syukur, saya sampai rumah dengan selamat
meski kondisi dalam keadaan lelah dan larut malam. Tapi, semuanya terbayarkan
lunas dengan hasil yang didapatkan. Perjuangan memang tidak berujung pada
penyesalan, perjuangan tidak aknn memberikan ksesdian, perjuangan tidak akan
memberikan kemungkaran, perjuangan tidak akan menuliskan duka mendalam, dan
perjuangan tidak akan membuat kehancuran di kehidupan. Percaya atau tidak? Saya
lah orang yang pertama percaya akan usaha dan takdir yang dilalui dengan
perjuangan. Istilah yang sederhan dan kerap didengar tapi dalam fonomenanya
lebih banyak larut dalam hamparan bunga mawar.
Memperoleh data
tambahan dan melihat penampilan secara langsung membuat saya begegas untuk
menuliskan hasil ini dalam bentuk skripsi. Alhasil, semuanya terbayarkan dalam
waktu seminggu lebih beberapa hari. Selesai semua bab 3 saya dengan revisi
sekali, saya tambahkan semua data yang ada di lapangan dengan penulisan
pribadi. Dari sini saya sampaikan, bahwa tidak ada yang sifatnya absolut dan
mutlak dikehidupan manusia. Statis itu hanya bagi mereka yang berfikir fisik
atau bisa saya katakan kaum materialis.
Semua kehidupan diduunia ini selalu dinamis, berubah dan luwes,
bergantung kepada diri yang membawakanya. Dengan sandangan mahasiswa saat di
kampus hanya menjadi gurauan panjang bagi masyarakat, status ini sekarang tidak
lagi dimuliakan apabila saya belum bisa memberikan perubadahan. Kadang dampak
dan rasa yang dihasilkan dari karya saya dipertanyakan secara mendalam. Terkesan
sederhana, manfaat bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat
seperti apa?
Merevisi selesai,
akhirnya saya melanjutkan untuk bangkit pada bab 4 dan 5 penulisan skripsi,
dengan mencari kepustakaan dalam bentuk kebudayaan, tarian dan musik bahkan
masyarakat probolinggo dan masyarakat madura saya baca. Bermacam teori saya
dapati, tidak muda memang dalam pembahasan, tidak segampang omongan orang yang
mengatakan inti dari permasalahan skripsi ada pada paparan data dan penelitian
saja, saya orang yang pertama menentang hal itu. Justru hal ini yang utama,
bahwa data yang dihasilkan dari skripsi saya dikomparasikan dengan sejuta teori
ilmiah mendapati kesamaan dalam data lapangan. Catatan terpentingnya, bahwa tidak
ada hal yang mudah dalam kehidupan manusia. Berkata saja terkadang susah, apa
hal yang muda dibenak kalian. Berfikir mudah itu hanya himbauan agar kita tidak
terlalu terbelenggu dengan kejamnya dunia. Layaknya manusia normal, saya pun
ingin ada pada posisi ini, telalu berfikir mendalam kadang susah diartikan oleh
lawan bicara dan menjadi omongan belakang nantinya. Kadang berfikir terlalu
mendasar bisa jadi bahan omongan orang pula, sebab sandangan akademik yang
menjadi taruhannya. Jadi mampu beradaptasi saat berada dalam masyarakat inilah
hal yang penting, melihat kebutuhan masyarakat, melihat apa yang ada dalam
masyarakat dan melihat kondisi lingkungan sekitar. Benar petuah yang sempat
terekam dalam pikiran saya “bermasyarakat itu lebih sulit merubahnya, daripada
lingkungan sekolah dan perkuliahan yang jelas arah kurikulum dan tujuannya”. Hasil
dari penelitian yang saya dapatkan membimbing saya untuk melihat masyarakat
juga, sebab tidak jarang berfikir mereka sederhana, apa yang didapatkan itulah
yang menjadi kerangka utamanya. Kadang saya heran, kenapa main mereka selalu dihadapkan pada problema ekonomi? Saya tanya
tentang presepsi dan pendapat dari mereka, hampir rujukannya pada problema
ekonomi, yang pada titik terang benang merahnya berpusat pada sebuah
ketidakadilan. Fenomena ini yang membuat miris, kenapa kebudayaan yang
terbentuk dalam tarian dijadikan ladang kehidupan. Pikiran masyarakat yang
demikian kadang menghambat saya akan data yang didapatkan dilapangan. Lepas
dari itu semua, saya lanjutkan bercerita tuntasnya skripsi saya di akhir bulan
februari, dengan bimbingan dari Ibu Siti Awaliyah, S.Pd., M.Hum dan bimbingan
dari bapak Drs. Suwarno Winarno. Tuntas sudah dan restupun dibuka, akhirnya
saya memberanikan untuk memulai langkah selanjutnya yakni petanggungjawaban
hasil karya ilmiah saya di hadapan pembimbing dan penguji nantinya. Tepat tanggal
16 maret 2015, saya sidang skripsi dengan penguji utama Dr. H. Moh. Yudi
Batubara, S.H., M.H. Perjalanan sidangpun tidak berlangsung mulus dan lancar
begitu saja, ijinkan saya berbagi curhatan pribadi saya. Ujian Tuhan tidak pada
hasil dari skripsi saya, mengalami sakit total dalam waktu 3 minggu menyebabkan
macet kegiatan dan aktivitas saya. Sakit yang pertama kalinya paling panjang
selama di Perguruan Tinggi, saya ujian bukan hanya ujian skripsi akan tetapi
ujian untuk sehat. Dari sinilah saya merenung dalam kamar yang busuk, betapa
indah sehat itu, mimpi berada dalam ruang sepi dan terbakar api. Setelah
terbangun, badan saya panas tak karuan. Sedih, Tuhan memberikan ujian apa lagi.
Batuk dan pilek yang menggoda disertai panas yang tinggi membuat bangkit dan
bangun dari tempat tidurpun serasa tak sudi. Ucap syukur, ada seseorang yang
spesial selalu memberikan spirit dan ikhlas dalam membantu, sebut saja putih. Pada
saat down seperti ini saya minta
tolong tidak menolak, sebab kebanyakan anak muda sekarang minta tolong sangat
susah, karena malas. Ucap terimakasih mendalam saya sampaikan dalam doa, semoga
imbalan dan balasan atas pelakuan baikmu dijadikan catatan amalan sholeh kelak,
jadi tabungan yang membimbingmu nanti.
Menjelang ujian,
saya pun masih dalam kondisi badan yang masih kurang sehat. Pada saat hari
senin, saya sidang skripsi. Semua berjalan sesuai rencanya, akan tetapi sial
dalam perjalanan karena tidak ada pengalaman dan bertanya kepada teman yang
pernah sidang skirpsi sehingga administrasi terbengkalai. Ucap syukur, Ibu Siti
Awaliyah membantu saya untuk memoderatori dan menuliskan administrasi saya.
Hormat saya ibu, saya haturkan tulus, sebaik manusia akan dibalas kebaikan. Selepas
sidang saya sempat berfikir, bodohnya saya ini kenapa hal kecil masih belum
bisa terurusi. Dalam sidang skripsi hakikatnya adalah kejujuran, sebab yang
awal kali di bacakan adalah surat pernyataan keaslian tulisan. Hal ini
memberitahukan kepada saya, bahwa skripsi itu boleh salah, tapi tidak boleh
bohong. Kejujuran kunci utama dari skirpsi, sidang masalah pertanggungjawaban
saja. Jalannya sidang skripsi berjalan dinamis, meskipun ada banyak pertanyaan
yang dilontarkan dari dosen penguji akan tetapi semua berjalan dengan baik.
Sempat menjadi kebingungan saya, yakni pertanyaan yang tiba-muncul persandingan
antara lokal genius dengan lokal wisdom. Mohon maaf bapak Suwarno Winarno,
mahasiswa anda masih dalam tahapan belajar, tapi hari ini saya sudah tau
jawabanya, setidaknya mendasar walaupun tidak mendalam. Kearifan lokal itu
hemat saya adalah pemikiran, idea dan gagasan masyarakat setempat tentang
kebudayaan asli daerahnya. Apabila dipersandingkan dengan lokal genius maka
semua kebudayaan yang ada di Indonesia tidak ada yang murni. Pengaruh dari
kebudayaan luar besar kecilnya pasti ada pengaruhnya, budaya barat masuk dalam
kebudayaan Indonesia. Unsur-unsur nilai asing akan diresap dan dijadikan
rujuakan agar menjadi kebudayaan yang lebih baik lagi. Tidak ada kebudayaan
dewasa ini tanpa adanya pengaruh, utamanya teknologi. Semua menggunakan bantuan
teknologi, dan teknologi merupakan pengaruh dari kebudyaan luar. Jikalau kita
dihadapkan dengan kebudayaan yang benar asli maka hal ini meutupi diri layaknya
katak dalam tempurung; buta dan gelap sepanjang masa. Bagi saya kesenian ini
tetaplah kesenian asli Kabupaten Probolinggo, banyak klaim-klaim dari daerah
yang mengakui sebuah kesenian. berangkat dari pemikiran saya yang menjelaskan
bahwa tidak ada kesenian tari Glipang dalam masyarakat madura, akan tetapi ada
sebagian gerakan yang memang mengadobsi dari sebuah kebudayaan lokal disana. Tanpa
dimunafikan, ada peralihan kebudayaan dari madura ke daerah pantura, sebab
masyarakat madura yang migrasi keseluruh plosok negeri. Banyak orang bilang,
mereka yang menyebar dan meninggalkan diri dari tanah madura adalah orang yang
ekonomi sulit, sehingga migrasi ke tanah jawa untuk berdagang. Ini fakta yang
saya dapatkan, dan hal itulah yang menjadikan salah satu dampak perubahan
sosial dalam masyarakat. Hal ini tidak bisa dikatakan mampu merubah kearifan
lokal masyarakat setempat, sebab yang namanya karakteristik dan kedarahan
tetaplah punya identitas, meskipun kebudayaan hampir mirip dengan perilaku
sehari-hari masyarakatanya. Sudah, pembahasan ilmiahnya sampai disini dulu,
saya lanjutkna cerita saya untuk memperjuangkan sebuah toga.
Selesai sidang,
saya mendapatkan hasil dari proses yang saya lakukan selama ini. Hasil
memusakan dan sepadan dengan usaha dan tenaga yang dikorbankan. Mendapatkan jatah
untuk merevisi selama 15 hari menjadi ketuntasan terakhir yang harus saya
lakukan. Sebenarnya inti dari cerita yang mau saya sampaikan, selepas dari
sidang yang sudah saya lakukan pada bulan Maret kemarin, sedangkan jangka waktu
wisuda masih bulan September, dalam rentan waktu yang histeris saya harus apa? Apakah
saya menjadikan jumlah sampah dalam masyarakat dengan gelar akademiknya? Diri yang
sedang berusaha mencoba untuk selalu ikhlas dan berjuang terus. Selamat Pagi. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar