Minggu, 29 April 2018

Terbisu Karena Kemarahanmu



Pagi sunyi yang dingin dikamarku sempit dan kumuh dengan berbagai macam barang yang kadang tak bermutu. Inilah usahaku untuk bercerita dan berbagi sedikit resah gelisahku. Aku hanya bisa berteriak dalam kekacauan ini, setiap kali aku bercerita dan berkomunikasi dengan Noer. Entah kenapa selalu kekacauan dan kemarahan yang aku dapatkan. Memang apa kesalahan yang essensial dan subtansi? Apa karena karma atau karena hukuman atas ketidakbisaanku pada masa lalu.


Kerutan kening setiap pagi tak bisa aku jelaskan maksud dan tujuannya. Untuk apakah dia hadir dalam kehidupanku, apa untuk bersemayam dalam raut wajah polos yang tak mampu penuh mengartikan makna cinta yang sesungguhnya. Atau karena aku tak bisa berbicara akan ketidakbisaanku tentang keadaan semuanya. Abstrak memang, aku kadang bertengkar dengan perasaan dan akalku sendiri. Menimbangpun kadang aku tak mampu, setiap langkah kegiatan bagai dimata-matain. Apakah kesalahan lalu lantas aku terima sekarang?


Buruk kah aku padamu? Hingga renungan terdalam yang aku belum sampai menemukan jawaban yang sebenarnya. Kenapa dan kenapa? Hanya itu yang terbising dan terniang sampai telingaku berdering-dering. Terbisu, satu kata inilah yang hanya bisa aku kata. Entah psikologis hati, akal, dan tubuh yang mengintruksikan untuk aku harus bersikap demikian. Atau karena insting dari dalam diri? Entahlah, yang jelas dan yang pasti aku hanya terdiam dan terbisu. Ya, lebih tepat lagi terbisu. Tak sempat kata tertuturkan lewat bahasa, mungkin jikalau tubuh ini memberontak untuk  keluar, barangkali bisa diungkapan dengan gestur penyesalan. Wajah memelas, raut muka mendamba penuh pengharapan dan pengampunan karena perbuatan salah yang besar. Mungkin untuk dimaafkan pun tak pantas, kecuali ganjaran dari batin dan diri.

Kemarahan memang bukan kemarahan, entah aku mengistilahkan seperti apa? Yang aku ketahui pasti, bahwa komunikasi dalam kata tak berperasaan itu menyebutkan bahwa engkau yang disana merasakan ketidak nyamanan atas kehadiran ku dalam kehidupanmu. Entah, disana kamu bahagia lantas tertawa megah, atau memerah dan memarah karena ingatan mu akan kesalahan masa laluku, atau pun ludah yang jatuh ditanah tak dapat dihisap lagi masuk dalam mulut lewat kerongkongan dan kembali pada tempat yang indah, yakni perut. Disitulah mungkin bersemayam kesalahan-kesalahan. Jadi benar tak dapat ditarik, tak dapat diambil kembali. Tajam benar kata, lidah dan ucapan itu. Dampak masa lalu, sejarah masa lalu, sejarah dulu membuat hidup ini buruk dan membangkitkan kemarahanmu. Ah, sudahlah ini bukan persoal itu. Tapi benar kesalahan buat menjadi koreksi kedepan. Membantah bukan pembenaran, diam itu kadang emas. Tapi ditindas, tapi kemarahan bukan bisa dilunakan dengan kata. entah aku yang bodoh karena tidak mampu merangkai atau seperti apa, akupun tidak tahu.

Lantas, pengertian. Inilah tuntutan yang kadang aku pusing untuk memikirkannya. Kebodohan mendaras mungkin buat apa memikirakan prihal yang tidak layak untuk dipikirkan. Harusnya setelah kejadian terjadi, ya sudah. Tinggalkan, dan maafkan. Setidaknya begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar